Once upon a time, I found a striking book: "Once Upon a
Cow".
Jadi, suatu hari saya lagi cari-cari buku di rak
perpustakaan rumah (ya, di rumah memang ada mini-library yang isinya buku-buku
punya bapak, ibu, adek, dan saya. Setidaknya ada 1000 buku di dalam sana,
lumayan lah ya).
Tiba-tiba, mata saya tertuju pada sebuah buku berjudul
nyentrik: Once Upon a Cow. Itu buku siapa, saya juga ga tau, mungkin bapak atau
adek yang beli. Yaudah, saya buka-buka aja bukunya.
Dan ternyata isinya bagus.
Ditulis oleh Dr Camilo Cruz, buku motivasi &
'self-development' ini, dengan bahasa yang friendly dan penjelasan yang mudah,
dapat menjelaskan dengan baik mengapa ada kata 'Cow' di judulnya.
|
Bukan buku peternakan ya! |
Jadi, si Cow atau sapi di buku ini digunakan sebagai
gambaran atau metafora dari penghalang atau rintangan yang tidak disadari ada
di dalam hidup kita dan membuat kita sulit maju untuk mengejar kehidupan yang
lebih baik. Biar lebih mudah dipahami, kita langsung masuk ke cerita saja:
Once upon a time..
ada seorang guru yang bijak, ingin mengajari seorang muridnya bagaimana mencapai hidup yang bahagia dan sejahtera. Karena
banyak orang yang hidupnya rata-rata atau biasa-biasa saja, tetapi memilih pasrah
membiarkan diri mereka hidup seadanya.
Seolah-olah tidak ada harapan atau ke-percaya-diri-an untuk menikmati hidup yang
lebih baik lagi.
Sang Guru tentu tidak ingin muridnya ikut terjebak dalam
kehidupan yang seperti itu.
Diajaklah muridnya pergi ke suatu desa terpencil. Desa ini
dihuni oleh keluarga-keluarga yang miskin, kekurangan, dan terbelakang,
pokoknya 'mesakke' deh (jawa: mesakke > indonesia: kasihan).
Guru dan murid tadi berencana untuk menginap 1 malam di desa
itu. Maka mereka mencari sebuah rumah yang akan dijadikan tempat beristirahat
untuk malam nanti. Alih-alih mencari rumah yang setidaknya paling bagus atau
paling mending dari seluruh rumah di desa itu, mereka malah memilih sebuah
rumah yang paling jelek, kecil, mau ambrol, dan ... ah, sampe ga tega
ngomongnya, hehe.
Diketuklah pintunya, keluar seseorang dari dalam lalu
menyapa mereka.
"Bolehkah kami berdua menginap di sini barang semalam
saja?" tanya Guru.
"Rumah ini sudah penuh dan sesak sekali, tetapi boleh
saja jika kalian berdua tidak keberatan" jawab pemilik rumah.
Guru dan murid pun tetap bersedia. Maka, dipersilakan
masuklah mereka. Dan betapa kagetnya ketika sang Murid mengetahui bahwa ada 8
orang yang tinggal di rumah itu: bapak, ibu, 4 orang anak, kakek, dan nenek.
Berdelapan di dalam rumah berukuran 14 meter persegi.
Kebayang bagi-bagi tempatnya kayak gimana?
Tidak cuma itu, penampilan seluruh anggota keluarga itu pun
seperti tidak terurus, baju rombeng, badan kurus, kotor seperti jarang mandi,
pokoknya prihatin kita kalau liat mereka. Dan, kondisi dalam rumahnya pun sudah
seperti mau rubuh, air bisa masuk kalau lagi hujan, sampah di mana-mana, dan
tidak ada satupun barang di rumah itu yang berharga.
Tapi, setelah guru dan murid berjalan ke halaman belakang
rumah itu, mereka menemukan pemandangan yang janggal. Ternyata keluarga itu
memiliki seekor sapi. Yap, lumayan aneh untuk ukuran keluarga semiskin itu
punya sapi.
Selidiki punya selidik, sapi itulah yang menghidupi keluarga
itu sehari-sehari. Air susunya lah yang selama ini menyelamatkan mereka dari
kelaparan, walaupun tetap dirasa kurang. Sapi itu menjaga mereka dari
kemiskinan yang parah, karena ternyata, di tempat di mana semua serba
kekurangan, memiliki sapi adalah sebuah kehormatan di desa itu. Sehingga,
keluarga itu bisa sedikit terhibur meskipun hidupnya sangat menderita dan
sebetulnya jauh dari kehormatan itu sendiri.
Malam berlalu, dan sebelum fajar datang, dengan hati-hati
sekali sang Guru membangunkan si Murid agar tidak mengganggu tidur yang
lainnya. Diam-diam mereka keluar rumah tanpa sepengetahuan keluarga tadi, dan
menuju halaman belakang. Apa yang kemudian dilakukan sang Guru?
Dengan pisau besar dan tajam, ia memenggal kepala sapi itu
dalam sekali tebas! Sapi itu langsung roboh tanpa suara!
Sudah pasti, muridnya langsung syok dan tidak percaya dengan
apa yang baru saja ia saksikan. Speechless, tidak punya daya untuk bertanya
pada sang Guru, apa alasannya sapi itu harus dibunuh. Yang ia tahu adalah, sapi
itu satu-satunya harta berharga yang keluarga itu miliki, bagaimana cara mereka
hidup setelah ini?
Sang Guru tetap kalem, dia mengajak muridnya pulang,
meninggalkan rumah dan desa itu segera. Si Murid benar-benar tergoncang dan
teraduk-aduk emosinya membayangkan betapa putus asanya keluarga itu setelah
mengetahui sapi mereka satu-satunya mati. Perjalanan pulang itu menjadi
perjalanan pulang ter-horor bagi Si Murid. Di dalam ketakutan dan kegelisahan,
ia terus menerka-nerka, apa maksud semua itu. Ia masih tidak berani bertanya
langsung pada gurunya.
Setahun berlalu.
Sang Guru mengajak muridnya kembali ke desa itu untuk
mengunjungi lagi rumah yang setahun lalu mereka inapi. Muridnya yang sudah
hampir lupa dengan kejadian setahun lalu itu, tiba-tiba kembali gelisah.
Semakin dekat perjalanannya ke desa itu, semakin tidak karuan perasaannya. Apa
yang akan ia lihat nanti setelah sampai di rumah itu? Masihkah ada penghuninya?
Sampai di sana, betapa terkejutnya murid tersebut setelah
melihat rumah yang dulu ia inapi sudah tidak ada!
Bahkan sudah diganti dengan rumah lain yang lebih besar dan
lebih bagus. Apakah keluarga itu tergusur? Lalu, di mana mereka sekarang? Sang
Guru pun mencari tahu dengan mencoba bertanya pada pemiliki rumah yang baru
itu. Ia ketuk pintunya, dan keluarlah seseorang yang ... tidak asing bagi mereka berdua.
Ternyata dia adalah pemilik rumah yang dulu! Keluarga itu
telah berhasil merenovasi rumah mereka menjadi lebih luas, lebih bagus, dan
lebih layak huni. Tampilan mereka pun sudah tidak bikin prihatin lagi. Tubuh
mereka terlihat sehat dan segar, penampilannya pun jauh lebih baik. Jauh
berbeda dengan kondisinya setahun yang lalu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Inilah pengakuan salah seorang dari mereka:
Setahun yang lalu, setelah kalian berdua meninggalkan rumah
ini, kami mendapat musibah, sapi kami satu-satunya mati terpenggal (keluarga
itu tidak tahu bahwa pembunuhnya adalah Sang Guru). Jujur, pada saat itu kami
betul-betul terpukul dan hampir putus asa, semakin hari hidup kami semakin
menderita. Tetapi kami lama-lama sadar, bahwa hidup belum berakhir dan kami
harus melakukan sesuatu agar kondisi bisa membaik.
Orang itu melanjutkan,
Maka, kami mulai membersihkan halaman belakang dan
menanaminya dengan sayur-sayuran. Pada awalnya, dari situlah kami bertahan
hidup. Tetapi lama-kelamaan, kami menyadari bahwa sayuran yang kami hasilkan
lebih dari cukup, dan kami bisa menjualnya ke tetangga-tetangga. Lalu, uang
yang kami dapat bisa dipakai untuk membeli benih lebih banyak dan menghasilkan
panen yang lebih banyak lagi. Sejak saat itu, perekonomian kami mulai membaik,
kami bisa membeli pakaian yang lebih pantas, dan belanja cukup makanan, hingga akhirnya mampu merenovasi rumah ini.
Jeng jeng jeng. Si Murid lega dan terkagum-kagum dengan
realita yang ia dengar barusan. Ia sekarang mengerti apa yang gurunya ingin
ajarkan kepadanya.
Matinya sapi bukanlah akhir dari segalanya, tetapi justru
menjadi awal dari kehidupan baru mereka yang lebih baik. Mungkin mereka akan
tetap miskin jika sapi itu masih hidup hingga sekarang. Sapi itu telah menjadi
borgol yang mengekang mereka dalam kemiskinan dan hidup yang tanggung. Sapi
yang disebut lambang kehormatan itu sudah memberi perasaan bahwa mereka tidak
miskin-miskin amat, walau kenyataannya tetaplah menderita. Sapi itu telah
membutakan mereka dari harapan mendapatkan kehidupan yang lebih berharga di
masa depan.
Maka dari itulah, ia harus dibunuh.
Berapa banyak dari kita yang menganggap apa yang dimiliki
sekarang sudah cukup dan membuat berhenti untuk mengejar pencapaian yang lebih
baik lagi? Berapa banyak dari kita yang kesannya 'nerimo' walaupun sebenarnya
merasa tidak puas? Berapa banyak dari kita yang sebetulnya sudah sangat
frustasi tetapi tidak cukup tergerak untuk melakukan sesuatu?
Setiap orang mempunyai sapinya masing-masing dalam hidup
ini. Dan tanpa sadar, mereka telah hidup bersama sapi-sapi itu di dalam
pekerjaan, karir, dan urusan-urusan lainnya, selama bertahun-tahun. Banyak yang
tidak puas dengan kondisi sekarang, tetapi memilih untuk tetap pasrah dalam
kehidupan yang seadanya. Toh, masih bisa hidup normal.
Cerita seekor sapi tadi adalah cerita tentang menghapus
kebiasaan buruk, alasan, dan keyakinan membatasi yang membuat orang terikat
pada kehidupan seadanya. Musuh kesuksesan yang sebenarnya bukanlah kegagalan,
seperti yang banyak orang pikir, melainkan kehidupan yang seadanya - pemikiran
bahwa kita bisa 'sekedar lewat' dalam hidup ini.
Bagaimana dengan Anda?
Apapun yang sudah terjadi di belakang, biarkanlah berlalu.
Mari kita mulai hidup yang baru, hidup yang bebas dari sapi!
Semoga bermanfaat :)
NB: ini baru bagian depan buku ya, di dalamnya dibahas
lengkap bagaimana kita mengenali sapi-sapi yang selama ini tidak kita sadari,
dari mana sapi sapi-sapi itu datang, sampai bagaimana membunuhnya untuk hidup
di zona bebas sapi.