Maaf, Saya Tidak Menulis Buku, Tetapi Membuat Playbook!


Salah satu target masa muda saya - menulis buku - akhirnya bisa terwujud.

Syukurlah, proses dari mulai penulisan hingga terbit buku ini terasa cepat dan hampir tidak ada halangan yang berarti. Ini karena saya tidak menulisnya dari nol, tetapi sebagian besar ide dan tulisan di buku ini sudah pernah saya tulis di blog. Sehingga ketika tiba waktunya menyusun naskah ke penerbit, saya tinggal mengumpulkan, merevisi seperlunya, dan menambahkannya dengan beberapa konten terkini.

Bukan hanya itu. Saya juga bersyukur karena naskah yang dikirim ke editor saat itu tidak mengalami proses penolakan bertubi-tubi seperti pengalaman sebagian penulis baru lainnya.

Sekali kirim, langsung dapat approval untuk diterbitkan. Alhamdulillah.

Judulnya 'Creative Playbook - Rahasia Berpikir Kreatif dengan Cara Menyenangkan Sekaligus Efisien'. Buku ini tidak seperti buku kebanyakan. Bahkan saya sendiri tidak menganggapnya sebagai sebuah buku, melainkan sebuah 'playbook'.

Mengapa?

Karena saya ingin para pembaca tidak hanya melakukan aktivitas membaca, tetapi juga bisa bermain di dalamnya. Bermain dengan buku ini. Sehingga harapannya, tidak hanya ilmu praktis saja yang akan didapatkan, tetapi juga 'experience' yang menyenangkan, sehingga isi playbook ini menjadi mudah dipelajari dan diingat.

Kata kuncinya adalah: Reading, Playing, and Having Fun.

Sesuai dengan judulnya, letak kekuatan playbook ini adalah pada pola kreativitas yang saya harap bisa sangat membantu Anda dalam proses berpikir kreatif, mulai dari mulai menemukan problem, mencari ide, hingga bagaimana memoles, merencanakan, dan menjamin ide itu bisa terealisasi.

Karena ide itu tak boleh hanya WOW, tetapi juga harus WORKS.

Yang menarik, playbook ini tidak membahas soal kreativitas saja. Saya baru sadar setelah membacanya sendiri (padahal saya penulisnya), bahwa ternyata di dalamnya juga kental akan konten bisnis, branding, marketing, sampai manajemen, bahkan psikologi. Koq bisa ya saya baru sadar kalau isinya sekomplit itu justru ketika sudah selesai menulisnya?

Mungkin karena gaya menulis saya yang mengalir begitu saja seperti orang bercerita. Mungkin juga dipengaruhi oleh background pengalaman dan pekerjaan saya di dunia bisnis selama ini yang turut memperkaya isi playbook ini dengan hal-hal tersebut.

Maka dari itu, Creative Playbook ini saya persembahkan untuk siapa pun Anda. Apapun profesi Anda. Baik yang berkecimpung di bidang kreatif, maupun bagi yang sedang mengabdi di industri yang mungkin sudah terlanjur ter-frame sebagai bidang pekerjaan yang formal / kaku / non-kreatif. Justru saya sangat merekomendasikan orang-orang di bidang tersebut untuk segera mencari buku ini sebelum menyesal.

Mengapa bisa begitu?

Baca saja playbook-nya, nanti juga Anda akan mengerti.

My Meeting With The Founders Camp Singapore


Tadi siang, saya bertemu dengan Mr Deny, co-founder dari The Founders Camp (TFC) Singapore. Setelah menjemput beliau di Bandara Adisucipto Yogyakarta, kami langsung menuju ke sebuah cafe di daerah Kotabaru. Di sana, sambil makan siang, kami berdiskusi seputar program TFC Singapore yang akan dijalankan di Indonesia.

Singkatnya, The Founders Camp adalah sebuah support system yang membantu startup dalam mendapatkan akses pendanaan, bantuan hukum, dukungan expertise, juga ekosistem yang positif untuk mempercepat pengembangan usaha.


Misinya adalah melahirkan startup-startup berkualitas yang punya daya saing global melalui program pendampingan atau mentorship dari segi finance, marketing, manpower, engineering, dan sebagainya, sampai akhirnya (jika memang sudah siap) membantu mereka untuk pitching dengan angel investor. 

Jadi, The Founders Camp ini punya fungsi sebagai advisor sekaligus mediator antara startup dengan pemodal maupun partner strategis lainnya yang dapat membantu kemajuan startup didikan mereka.

Setahun belakangan ini, setiap bulannya, TFC mengadakan pitching di kantor mereka di Singapura. Tentu diawali dengan seleksi terlebih dahulu. Pertama, startup harus mengirim business proposal yang secara singkat menggambarkan business model mereka, keuntungan dan resiko bisnis, proyeksi finansial, dan jumlah pendanaan yang diharapkan. 

Setelah dinyatakan lolos, peserta diharuskan mengikuti coaching di Singapura sambil diseleksi mana yang pantas untuk pitching. Startup yang berhasil melalui seleksi saat coaching ini akan diberi kesempatan untuk presentasi selama kurang lebih 40 menit di depan para investor di Singapura dengan potensi funding 50.000 - 200.000 SGD.


Apakah hanya startup dari negara mereka saja yang boleh ikut program ini?

Kabar baiknya, TFC mulai melebarkan sayapnya ke Indonesia. Mereka sadar bahwa potensi para startup di Indonesia sangat besar. Orang Indonesia itu kreatif-kreatif, dan secara keahlian pun gak kalah dengan negara lain. Sayangnya, akses ke funding, bantuan teknis, network strategis, juga akses ke pasar global masih dirasa kurang. 

Masalah lainnya adalah kemampuan menjual di depan calon investor yang masih harus diasah lagi. Menurut Mr Deny, banyak startup Indonesia yang sebetulnya punya produk bagus tapi tidak mampu meyakinkan pemodal bahwa produknya layak di-funding, entah karena kendala bahasa, teknik presentasi, atau bahkan masalah mental. Inilah yang ingin TFC coba bantu.


Sebagai proyek awal, September lalu TFC bekerja sama dengan Business Indonesia Singapore Association (BISA) sudah mulai membuka pintu bagi startup dari Indonesia yang tertarik untuk ekspansi ke luar negeri melalui Singapura sebagai business hub-nya. Rencananya, akan ada proyek-proyek lanjutan seperti itu yang akan mereka adakan lagi kira-kira dalam beberapa bulan ke depan dari sekarang. 

Melalui meeting singkat tadi siang, saya bersama rekan-rekan di Jogja diminta untuk men-sounding-kan berita ini sekaligus membantu meng-organize acara mereka yang nantinya akan diselenggarakan di Jogja (sebagai awal) yang mungkin akan berlanjut ke kota-kota lainnya. Di acara tersebut, TFC akan berbagi wawasan plus menerangkan bagaimana startup bisa go global secara step by step dengan lebih jelas.

Saya sih langsung kepikiran ngadain acaranya di Jogja Digital Valley karena komunitas startup di sana sudah lumayan terbentuk. Makanya, setelah meeting selesai tadi, saya langsung antar Mr Deny untuk mampir ke sana. Dan beliau cukup tertarik.

Mau ikutan acaranya? Hmmm.. Tunggu update selanjutnya ya :)

Menginap di Hotel Berbintang Cuma Bayar Rp 70.000? Bahkan Gratis??


Saudara saya happy banget bisa nginep di salah satu hotel berbintang di Jakarta dengan harga cuma 70 ribu semalam. 

Apalagi, gak perlu pake booking jauh-jauh hari sebelumnya. Malah bisa dibilang, proses pesannya dadakan banget. Dia memesan kamar hotel tersebut (via online) di hari yang sama, hanya beberapa jam sebelum check-in, sesuatu yang jarang bisa diakomodir oleh web pemesanan hotel online atau jasa travel agent pada umumnya. 


Biasanya, untuk urusan booking kamar dadakan seperti itu, tamu diharuskan pesan langsung ke hotelnya dengan konsekuensi sulit dapat best price karena diberlakukan harga walk-in, harga yang kurang menarik bagi mereka yang sebetulnya hanya butuh tempat untuk tidur selama beberapa jam saja.

Kembali ke cerita saudara saya tadi. Singkatnya, dia mendapat dua benefit: 1. bisa pesan hotel dadakan, 2. harganya bikin ngiri. Hehehe. Mengapa bisa begitu?

Selain memang karena hoki, benefit itu didapat karena ia juga ng-install Hotel Quickly - mobile application yang memudahkan kita untuk melakukan pemesanan kamar hotel last minute dengan harga paling rendah. 


Aplikasi ini mulai populer di Indonesia beberapa tahun lalu, terutama di kalangan business traveller, atau profesional yang sering meeting mendadak ke luar kota, atau mereka yang tiba-tiba memutuskan untuk weekend gateway tanpa persiapan booking penginapan beberapa hari sebelumnya. Atau mereka yang suka ketinggalan pesawat dan baru dapet tiket go show besok paginya, kan kudu cari hotel dadakan juga kalo begitu.

Sebetulnya, berawal dari insight itulah Hotel Quickly ini didirikan. Business traveller, weekend gateway-ers, dan dadak-ers lainnya adalah suatu niche market yang selama ini belum digarap serius oleh penyedia jasa pemesanan hotel online. Kebutuhan mereka sangat berbeda dengan kebutuhan family traveller atau penikmat tourism terencana yang masih punya waktu untuk booking kamar hotel jauh-jauh hari sambil membandingkan harga hotel satu dengan lainnya. 

Kebutuhan para dadakers tentu lebih spesifik: saya butuh kamar hotel saat ini juga, tolong sediakan beberapa pilihan saja (tapi tetap recommended) karena saya tak punya banyak waktu untuk membandingkannya, dan berikan penawaran harga terbaik. Sip?

Dan, kebutuhan tersebut berhasil dipenuhi oleh Hotel Quickly.



Okay, jadi, dari mana harga 70 ribu permalam tadi? Selain dapat potongan harga di awal pemesanan (bisa sampai 30% diskonnya), saudara saya ternyata juga sudah mengumpukan beberapa credit point yang membuat potongan harganya semakin besar.Finalnya, dia cuma keluar budget 70ribu. Bisakah gratis? Bisa kalau memang kredit yang dikumpulkan sudah senilai atau lebih besar dari harga kamar hotelnya.

Untuk mengumpulkan credit point tersebut, caranya cukup mudah, salah satunya dengan share aplikasi ini ke teman-teman kita. Setiap share di akun social media, kita mendapatkan kredit Rp 10.000,-, itu baru share, belum ngomongin kalau teman-teman socmed kita ikut download dan menggunakan link afiliasi kita. Kredit kita bakal nambah lagi.

Menariknya, Anda pun bisa langsung mendapatkan kredit Rp 130.000,- (seratus tiga puluh ribu rupiah) sesaat setelah mendownload aplikasinya. Caranya? Download di iOS, BB10, atau Android Anda, atau lebih simpelnya klik DI SINI. Setelah membuka aplikasi dan melakukan registrasi, buka menu CREDITS > REDEEM VOUCHER. Kemudian akan muncul perintah INSERT A PROMO CODE, masukkan kode ini: TMUHAMM lalu tekan REDEEM. 


Jika sudah, coba cek di credits, insyaAllah 130ribu-nya langsung masuk ke akun Anda. Nah, 130ribu itu bisa langsung dipakai untuk voucher kamar, atau teruskan saja mengumpulkan kredit tambahan dengan membagikan kode promo ke teman-teman.

Strategi credit point inilah yang semakin memuluskan jalan Hotel Quickly untuk masuk ke setiap negara, tak terkecuali Indonesia. Dalam kurun waktu 2,5 tahun terakhir, mereka berhasil membuka kerjasama dengan 1000+ hotel yang tersebar di 40+ kota di Indonesia. 

Beberapa tahun terakhir ini, pertumbuhan jumlah pengguna mobile phone di Indonesia lagi bagus-bagusnya. Begitu pula pertumbuhan pariwisata dalam negeri. Iklim yang pastinya menguntungkan bagi Hotel Quickly.

Model bisnis Hotel Quickly memang disruptive. Meskipun masih seumur jagung, inovasinya cukup mengganggu dan menggoyang peta permainan bisnis agen travel. Kita lihat saja perkembangannya beberapa tahun ke depan. Bisakah menjelma jadi market leader dalam jasa pemesanan hotel berbasis aplikasi? 

Atau bakal muncul kompetitor yang lebih agresif?

Yang pasti, industri ini bakal semakin menarik :)

*callback* Yang masih mau 130ribu, klik DI SINI aja :D

Story From Cannes Lions


Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2015 ini saya tidak sempat mengikuti seminar kreatif tahunan Pinasthika yang diselenggarakan 17-19 September lalu. Padahal kata orang-orang yang pada ikutan, Pinasthika tahun ini terasa lebih spesial dari biasanya. Di samping peserta seminar yang jauh lebih ramai dari tahun lalu, materi dan event-event pelengkapnya pun memang terasa fresh, creative (of course) dan up to date.

Tak sempat hadir, akhirnya saya mengirim 'delegasi' untuk datang ke sana. Tugas utamanya satu: mendengarkan presentasi dari para pembicara seminar, dari pagi sampai sore, sambil membuat resume materi yang nantinya harus diberikan kepada saya. Ngomong-ngomong, delegasi saya ini masih anak SMA yang hari itu bersedia bolos sekolah demi dapet ilmu di Pinasthika. Kenapa dia mau? Ya jelas karena seminarnya lebih menarik daripada pelajaran di sekolah, plus karena tiketnya saya yang bayarin. Hehe.

Kalau mau tau siapa orangnya, dateng aja ke blognya yang punya konten super kritis dan disruptive untuk ukuran anak SMA: www.filosofikerja.com

Dia pun melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Saya tak menyangka hasil resumenya begitu kaya. Salah satunya akan saya share di tulisan ini. Sharing dimulai.

Story From Cannes Lions
Pembicara: Lucy Novita (Hakuhodo Indonesia)
Beliau adalah juri Cannes Lions wanita pertama dari Indonesia

Yang belum tau, Cannes Lions adalah award show dan festival tahunan terbesar di dunia untuk para profesional di industri komunikasi kreatif. Menurut data dari Mbak Lucy Novita yang baru aja jadi juri di sana, tahun 2015 ini Cannes menerima 3500-an entry untuk video campaign, disaring jadi 200an finalis, dan terpilih 90 juara (35 bronze, 30 silver, dan 25 gold).

As usual, video-video ads tembusan Cannes memang sering bikin geleng-geleng, surprise, takjub, dan kadang bisa bikin 'misuh-misuh' (ngumpat) saking keren idenya. Beberapa di antaranya bisa Anda tonton di bawah ini. Selamat menikmati dan geleng-geleng, takjub, tapi jangan sampai 'misuh-misuh' ya.


Inactivity Tracker - sebuah tracker untuk orang yang rajin olahraga super males. 


L'oreal Makeup Genius - aplikasi Augmented Reality buat nyobain makeup tanpa nyobain makeup beneran. Nah lo, maksudnya gimana? Tonton aja deh.


Canal+ Interactive Form - bisakah form pendaftaran subscriber di internet dibuat tidak membosankan?


Holograms For Fredoom - dilarang demonstrasi rame-ramean ke jalan, akhirnya bikin demo hologram, gokil.


The Salt You Can See - bagaimana agar orang Argentina aware untuk mengurangi konsumsi garam demi kesehatan yang lebih baik?


Gimana? Keren-keren kan? Masih ada beberapa lagi videonya, tapi untuk kali ini, saya cukupkan sekian. Kepentok durasi soalnya, halah. Yang mau presentasi (sangat) singkat dari seminar Pinasthika kemarin plus link video lainnya, isi kotak komen di bawah ini ya :) 

Fenomena Pasar Ceruk, Dari Indomie Sampai Hotel Quickly


Dalam praktik bisnis, khususnya dalam penentuan target market, kita mengenal istilah pasar ceruk. Yakni pasar yang kecil, atau lingkup pasar spesifik yang berisi calon konsumen tertentu dengan kesamaan selera, kebutuhan, daya beli, geografi, gaya hidup, atau hal-hal spesifik lainnya.

Misalnya, saat menjadi finalis Start Up Icon di Bandung, saya berkenalan dengan seorang finalis lain yang mempunyai salon khusus untuk orang-orang berambut gimbal. Mulai dari menerima jasa ‘nggimbalin’ rambut, sampai dengan perawatan berkalanya. Kalau saya yang berambut biasa-biasa ini datang ke salonnya, sekedar minta cukur rambut, sudah pasti ditolak, karena saya bukan target market mereka, saya bukan ceruk yang mereka sasar. Ceruk mereka adalah orang berambut gimbal.

Apakah salonnya laris? Jawabannya: iya. Ternyata para gimbalers kota Bandung itu jumlahnya lumayan banyak. Mereka merasa ‘terakomodir’ sehingga jadi pelanggan setia salon tersebut. Sejak saat itu saya sadar akan 2 hal ini: pertama, bisnis yang pasarnya sangat ceruk itu diam-diam menarik juga, dan yang kedua,  ternyata orang gimbal juga butuh perawatan rambut! Hehe.

Kalau kita amati, semakin ke sini, ceruk-ceruk pasar semakin banyak yang bermunculan. Dan makin spesifik!

Es krim yang dulu hanya didominasi rasa cokelat, vanilla, dan stroberi, sekarang makin variatif: es krim rasa kelapa-jeruk, candy-corn, green tea, dan cheesecake dengan penggemarnya masing-masing.

Dulu, kita hanya mengenal ceruk orang-orang yang doyan makan Indomie. Titik. Sekarang kita mengenal ceruk Indomie-lover yang lebih sempit lagi: orang yang suka Indomie rasa rendang, orang yang suka Indomie rasa cabe hijau, kare, bulgogi, tomyum, dan rasa spesifik lainnya. 

Kebutuhan dan keinginan konsumen yang semakin berkembang dan beragam telah mendorong lahirnya ceruk-ceruk baru yang tak terpikirkan sebelumnya.

Namun, ceruk-ceruk pasar tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya. Tentu diperlukan riset dan kejelian dalam mengamati perilaku konsumen, menemukan kebutuhan mereka yang belum terakomodir, ataupun masalah yang belum terselesaikan. Selain itu, dibutuhkan kreativitas dan inovasi untuk membuat sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah tersebut.

Saya punya contoh menarik yang dilakukan oleh aplikasi pemesanan kamar hotel last minute bernama Hotel Quickly.

Tidak seperti aplikasi pemesanan kamar lainnya yang membidik pasar keluarga dan traveler biasa yang cenderung memesan hotel dari jauh-jauh hari dan masih sempat untuk banding-bandingin harga, Hotel Quickly menarget pasar yang lebih khusus, yakni business traveler, atau siapapun yang karena kondisi tertentu membutuhkan pemesanan hotel secara mendadak.

Hotel Quickly menyadari bahwa banyak profesional atau pelaku bisnis yang tiba-tiba harus meeting mendadak ke luar kota, dan kadang harus menginap di kota itu karena meeting sampai larut malam, atau sebagian karena ketinggalan pesawat sehingga terpaksa  harus cari penginapan di sekitar bandara. Atau orang-orang kantor yang tiba-tiba memutuskan untuk weekend gateway, tanpa persiapan dan pesan penginapan jauh-jauh hari sebelumnya, Hotel Quickly hadir untuk menjadi solusi.

Jika agen travel atau jasa-jasa pemesanan hotel lainnya kesulitan dalam melakukan pemesanan kamar hotel pada hari yang sama, Hotel Quickly mengklaim bahwa mereka lah 
jagonya. Pesan kamar hotel hari itu juga, bahkan di menit-menit terakhir? Bisa!

It’s a last minute hotel reservation service.

Kejelian dalam melihat peluang, plus kemampuan mereka dalam men-deliver service-nya itulah yang membuat Hotel Quickly jadi penguasa ceruk pasar berisi orang-orang ‘dadakan’ 
yang sudah saya jelaskan di atas.

Bagaimana dengan Anda? Observasi apa yang sudah Anda lakukan? Ceruk baru apa yang menarik untuk digarap? Share di kotak comment ya!

Semoga bermanfaat!

PS: Pada artikel selanjutnya, insya Allah saya akan bahas lebih detail bagaimana strategi agresif Hotel Quickly sehingga cukup berhasil melakukan penetrasi pasar di Indonesia dan mampu menghimpun kerjasama dengan 1000+ hotel dari 40+ kota di Indonesia. Makanya, subscribe ya agar dapat update-an nya langsung ke email Anda. Isi kotak berlangganan yang sudah saya sediakan di bagian sidebar, atau berada di bawah artikel ini (jika Anda mengakses via mobile).