Fenomena Pasar Ceruk, Dari Indomie Sampai Hotel Quickly


Dalam praktik bisnis, khususnya dalam penentuan target market, kita mengenal istilah pasar ceruk. Yakni pasar yang kecil, atau lingkup pasar spesifik yang berisi calon konsumen tertentu dengan kesamaan selera, kebutuhan, daya beli, geografi, gaya hidup, atau hal-hal spesifik lainnya.

Misalnya, saat menjadi finalis Start Up Icon di Bandung, saya berkenalan dengan seorang finalis lain yang mempunyai salon khusus untuk orang-orang berambut gimbal. Mulai dari menerima jasa ‘nggimbalin’ rambut, sampai dengan perawatan berkalanya. Kalau saya yang berambut biasa-biasa ini datang ke salonnya, sekedar minta cukur rambut, sudah pasti ditolak, karena saya bukan target market mereka, saya bukan ceruk yang mereka sasar. Ceruk mereka adalah orang berambut gimbal.

Apakah salonnya laris? Jawabannya: iya. Ternyata para gimbalers kota Bandung itu jumlahnya lumayan banyak. Mereka merasa ‘terakomodir’ sehingga jadi pelanggan setia salon tersebut. Sejak saat itu saya sadar akan 2 hal ini: pertama, bisnis yang pasarnya sangat ceruk itu diam-diam menarik juga, dan yang kedua,  ternyata orang gimbal juga butuh perawatan rambut! Hehe.

Kalau kita amati, semakin ke sini, ceruk-ceruk pasar semakin banyak yang bermunculan. Dan makin spesifik!

Es krim yang dulu hanya didominasi rasa cokelat, vanilla, dan stroberi, sekarang makin variatif: es krim rasa kelapa-jeruk, candy-corn, green tea, dan cheesecake dengan penggemarnya masing-masing.

Dulu, kita hanya mengenal ceruk orang-orang yang doyan makan Indomie. Titik. Sekarang kita mengenal ceruk Indomie-lover yang lebih sempit lagi: orang yang suka Indomie rasa rendang, orang yang suka Indomie rasa cabe hijau, kare, bulgogi, tomyum, dan rasa spesifik lainnya. 

Kebutuhan dan keinginan konsumen yang semakin berkembang dan beragam telah mendorong lahirnya ceruk-ceruk baru yang tak terpikirkan sebelumnya.

Namun, ceruk-ceruk pasar tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya. Tentu diperlukan riset dan kejelian dalam mengamati perilaku konsumen, menemukan kebutuhan mereka yang belum terakomodir, ataupun masalah yang belum terselesaikan. Selain itu, dibutuhkan kreativitas dan inovasi untuk membuat sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah tersebut.

Saya punya contoh menarik yang dilakukan oleh aplikasi pemesanan kamar hotel last minute bernama Hotel Quickly.

Tidak seperti aplikasi pemesanan kamar lainnya yang membidik pasar keluarga dan traveler biasa yang cenderung memesan hotel dari jauh-jauh hari dan masih sempat untuk banding-bandingin harga, Hotel Quickly menarget pasar yang lebih khusus, yakni business traveler, atau siapapun yang karena kondisi tertentu membutuhkan pemesanan hotel secara mendadak.

Hotel Quickly menyadari bahwa banyak profesional atau pelaku bisnis yang tiba-tiba harus meeting mendadak ke luar kota, dan kadang harus menginap di kota itu karena meeting sampai larut malam, atau sebagian karena ketinggalan pesawat sehingga terpaksa  harus cari penginapan di sekitar bandara. Atau orang-orang kantor yang tiba-tiba memutuskan untuk weekend gateway, tanpa persiapan dan pesan penginapan jauh-jauh hari sebelumnya, Hotel Quickly hadir untuk menjadi solusi.

Jika agen travel atau jasa-jasa pemesanan hotel lainnya kesulitan dalam melakukan pemesanan kamar hotel pada hari yang sama, Hotel Quickly mengklaim bahwa mereka lah 
jagonya. Pesan kamar hotel hari itu juga, bahkan di menit-menit terakhir? Bisa!

It’s a last minute hotel reservation service.

Kejelian dalam melihat peluang, plus kemampuan mereka dalam men-deliver service-nya itulah yang membuat Hotel Quickly jadi penguasa ceruk pasar berisi orang-orang ‘dadakan’ 
yang sudah saya jelaskan di atas.

Bagaimana dengan Anda? Observasi apa yang sudah Anda lakukan? Ceruk baru apa yang menarik untuk digarap? Share di kotak comment ya!

Semoga bermanfaat!

PS: Pada artikel selanjutnya, insya Allah saya akan bahas lebih detail bagaimana strategi agresif Hotel Quickly sehingga cukup berhasil melakukan penetrasi pasar di Indonesia dan mampu menghimpun kerjasama dengan 1000+ hotel dari 40+ kota di Indonesia. Makanya, subscribe ya agar dapat update-an nya langsung ke email Anda. Isi kotak berlangganan yang sudah saya sediakan di bagian sidebar, atau berada di bawah artikel ini (jika Anda mengakses via mobile).

Combine, Combine, and Combine!


Jika kreativitas itu sebuah agama. Pasti dalam kitab sucinya ada satu ayat yang bunyinya seperti ini: "Wahai orang yang kreatif, gabungkanlah 2 hal yang (jauh) berbeda menjadi satu."


Itu adalah salah satu pola kreativitas terpopuler yang sampai sekarang masih sering dipakai, dalam berbagai bentuk dan tujuan. Saya akan tunjukkan beberapa masterpiece yang sebetulnya dihasilkan dari teknik menggabungkan 2 hal yang berbeda menjadi satu.


Yang pertama datang dari ranah desain produk. Sebuah masterpiece buatan orang Indonesia. Inilah yang terjadi saat lampu meja digabungkan dengan wayang golek. 


What? 


Iya, wayang golek.

Namanya Lampu RUNA
Suami istri, namanya Noro dan Intan, yang sama-sama pencinta design, pada awalnya hanya memproduksi lampu meja standard, tetap bagus dan berkelas sih, tetapi belum benar-benar unik. Hingga suatu saat mereka terpikir untuk melakukan sebuah terobosan. Kebetulan juga, saat itu mereka mengetahui bahwa banyak pengrajin wayang golek di Subang yang sebetulnya sangat ahli memahat kayu tetapi kurang produktif.
Noro & Intan. Owner Lampu RUNA.

Akhirnya mereka merangkul para pengrajin tersebut untuk bersama-sama membuat lampu meja yang dikombinasikan dengan seni pahat kayu ala wayang golek, sehingga terbentuklah karakter-karakter yang menarik. Mereka namakan Lampu RUNA.

Lihat koleksi selengkapnya di sini ya.

Masterpiece berikutnya datang dari ranah periklanan. Sebuah campaign dari Faber Castell. Dengan cerdiknya, mereka menggabungkan pensil warna dengan objek-objek yang dekat dengan kehidupan kita. 







Pesan yang ingin disampaikan melalui gambar-gambar tersebut sebetulnya sangat sederhana. Faber Castell hanya ingin menegaskan bahwa pensil mereka mampu menghasilkan warna yang hampir nyata dan sangat persis dengan warna benda-benda aslinya.

Nah, berlanjut ke contoh yang ketiga. Yang ini datang dari ranah social movement, tapi bisa 'nyerempet' ke ranah bisnis juga sih. 

Bagaimana konsep sawah atau kebun yang ada di pedesaan dipadukan dengan gedung-gedung yang ada di kota? 

Pertanyaan tersebut menghasilkan jawaban berupa konsep yang saat ini dikenal dengan istilah Urban Farming - sebuah social movement di mana orang perkotaan pun bisa bercocok tanam dengan memanfaatkan lahan-lahan terbatas mereka. Baik itu di dalam rumah, maupun mengoptimalkan halaman belakang yang tidak luas-luas amat. Bahkan ada yang berkebun di atas gedung. 



Di samping berbentuk social movement, ada juga yang membawa konsep urban farming ini ke ranah bisnis. Lufa Farm di Montreal, Kanada misalnya. Mereka memanfaatkan lahan kosong di atas gedung perbelanjaan untuk ditanami buah dan sayur lalu menjual hasil panennya secara online. 
Perkebunannya ada di atas gedung


Value yang Lufa Farm usung


Dijual online, tau-tau sampai di depan rumah.

Ide ini pun direspon positif oleh masyarakat perkotaan di Kanada. Mengapa? 

Karena mereka bisa mendapatkan bahan makanan yang fresh, yang dipanen hari itu juga. Sesuatu yang tidak mereka peroleh jika berbelanja di supermarket karena sayur dan buahnya didatangkan dari desa yang mungkin sudah dipanen beberapa hari sebelumnya.

Hmmm, kreativitas itu tidak serumit yang dibayangkan. Lihatlah contoh-contoh di atas, dari ide sederhana, yakni menggabungkan 2 hal yang berbeda menjadi 1, ternyata bisa menghasilkan output yang luar biasa.

Saya harap tulisan ini bisa membantu Anda dalam memancing ide-ide yang keren dan syukur-syukur berguna bagi orang-orang di sekitar. Kalau sudah kepikiran apa idenya, share di kotak comment di bawah ini ya :)

Besok Itu Dimulai Dari Malam Ini


Saya ga jago-jago amat ngomongin produktivitas. 

Tapi saya suka praktiknya. Misalnya, suka bikin to-do list yang isinya beberapa aktivitas penting hari ini beserta kapan aktivitas itu harus dilakukan dan diselesaikan.  

Selain itu, saya juga sering bikin strategi bagaimana cara melakukan pekerjaan A agar lebih cepat selesai, sehingga bisa langsung berlanjut ke pekerjaan B. Dengan cara didelegasikan misalnya. Atau pakai bantuan tools yang bisa meringankan & mempercepat pekerjaan.

Untuk urusan produktivitas, tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat kotak to-do list ter-checklist satu demi satu. Dan kebahagiaan tertinggi adalah pada saat malam hari, ketika melihat to-do list untuk seharian tadi berhasil saya selesaikan semua. 

Siapa yang hidupnya seperti ini juga? Hehe. Toss!

Nah, kebiasaan merencanakan aktivitas sehari-hari ini sudah saya mulai sejak duduk di bangku SMA, walau tidak setiap hari. Tapi begitu kuliah, habit ini makin sering saya lakukan. Hingga sekarang. 

I'm a daily planner.

Terlepas berhasil atau tidak eksekusinya, ter-checklist atau tidak to-do list nya, paling tidak, semua sudah direncanakan di awal. 

Ngomong-ngomong, saya jarang membuat rencana harian atau to-do list di pagi hari, atau saat mengawali hari. Yap, saya lebih suka melakukannya di malam sebelumnya. Jadi, malam-malam sebelum tidur, saya bikin dulu daftar kegiatan apa saja yang akan  dilakukan esok hari. Setelah selesai, barulah tidur. Jadi paginya tinggal action aja.


Saya rasa, cara tersebut sangat efektif. Mengapa?

Karena to-do list atau apapun yang kita pikirkan dan tuliskan menjelang tidur, perlahan akan masuk ke pikiran bawah sadar ketika kita sedang pulas-pulasnya tidur. Lalu pada saat bangun, pikiran akan jauh lebih siap untuk memulai aktivitas yang sudah direncanakan di malam sebelumnya.

Mantap ya. Coba deh mulai malam ini. Buat to-do list sebelum tidur.

Apalagi kalau kita bisa tidur lebih awal dan bangun juga lebih awal. Bakal makin asyik itu efeknya. By the way, sama-sama tidur 5 jam, tapi yang satu tidur jam 12 malem - 5 pagi, sedangkan yang lain tidur jam 10 malem - 3 pagi, sensasinya bakal beda tuh. 

Menurut pengalaman pribadi selama ini, bangun sekitar jam 3 pagi setelah tidur minimal 5 jam, bisa bikin badan & pikiran jauh lebih segar, lebih enteng rasanya. Apalagi jam-jam segitu sangat menenangkan: untuk ibadah, doa, belajar, menulis, ngerjain tugas, dsb. Makanya, ada yang menyebut saat-saat itu sebagai 'golden time' atau 'golden moment'.

Akan tetapi, akan sangat sulit untuk bangun awal kalau mulai tidurnya saja sudah telat. Mulai tidur jam 12 malem atau jam 1 dini hari, tapi ngarep bangun fresh jam 3. Yaa, rasanya sih berat. Yang ada malah pening gak karuan.

Ternyata, kapan kita mulai tidur itu penting sekali.

Dua hal di atas: (1) bikin to-do list sebelum tidur (2) mulai tidur awal dan bangun lebih awal, adalah resep sederhana penentu produktivitas harian.

Bagi saya, awal hari tidak dihitung pada saat kita bangun tidur, tetapi saat kita mulai tidur di malam sebelumnya.

Besok itu dimulai dari malam ini.

STOP Kegiatan Digital, Sesekali Karyakan Tanganmu!


Maaf, tidak seperti artikel lainnya, saya harus sesedikit mungkin mengetik untuk artikel ini. Anda akan tahu mengapa. Sesaat lagi.



Memperbaiki & Memulai Hidup Yang Baru, Hidup Yang Bebas Dari 'Sapi'


Once upon a time, I found a striking book: "Once Upon a Cow".

Jadi, suatu hari saya lagi cari-cari buku di rak perpustakaan rumah (ya, di rumah memang ada mini-library yang isinya buku-buku punya bapak, ibu, adek, dan saya. Setidaknya ada 1000 buku di dalam sana, lumayan lah ya).

Tiba-tiba, mata saya tertuju pada sebuah buku berjudul nyentrik: Once Upon a Cow. Itu buku siapa, saya juga ga tau, mungkin bapak atau adek yang beli. Yaudah, saya buka-buka aja bukunya.

Dan ternyata isinya bagus.

Ditulis oleh Dr Camilo Cruz, buku motivasi & 'self-development' ini, dengan bahasa yang friendly dan penjelasan yang mudah, dapat menjelaskan dengan baik mengapa ada kata 'Cow' di judulnya.
Bukan buku peternakan ya!
Jadi, si Cow atau sapi di buku ini digunakan sebagai gambaran atau metafora dari penghalang atau rintangan yang tidak disadari ada di dalam hidup kita dan membuat kita sulit maju untuk mengejar kehidupan yang lebih baik. Biar lebih mudah dipahami, kita langsung masuk ke cerita saja:

Once upon a time..

ada seorang guru yang bijak, ingin mengajari seorang muridnya bagaimana mencapai hidup yang bahagia dan sejahtera. Karena banyak orang yang hidupnya rata-rata atau biasa-biasa saja, tetapi memilih pasrah membiarkan diri mereka hidup seadanya. Seolah-olah tidak ada harapan atau ke-percaya-diri-an untuk menikmati hidup yang lebih baik lagi.

Sang Guru tentu tidak ingin muridnya ikut terjebak dalam kehidupan yang seperti itu.

Diajaklah muridnya pergi ke suatu desa terpencil. Desa ini dihuni oleh keluarga-keluarga yang miskin, kekurangan, dan terbelakang, pokoknya 'mesakke' deh (jawa: mesakke > indonesia: kasihan).

Guru dan murid tadi berencana untuk menginap 1 malam di desa itu. Maka mereka mencari sebuah rumah yang akan dijadikan tempat beristirahat untuk malam nanti. Alih-alih mencari rumah yang setidaknya paling bagus atau paling mending dari seluruh rumah di desa itu, mereka malah memilih sebuah rumah yang paling jelek, kecil, mau ambrol, dan ... ah, sampe ga tega ngomongnya, hehe.

Diketuklah pintunya, keluar seseorang dari dalam lalu menyapa mereka.


"Bolehkah kami berdua menginap di sini barang semalam saja?" tanya Guru. 
"Rumah ini sudah penuh dan sesak sekali, tetapi boleh saja jika kalian berdua tidak keberatan" jawab pemilik rumah.
Guru dan murid pun tetap bersedia. Maka, dipersilakan masuklah mereka. Dan betapa kagetnya ketika sang Murid mengetahui bahwa ada 8 orang yang tinggal di rumah itu: bapak, ibu, 4 orang anak, kakek, dan nenek. Berdelapan di dalam rumah berukuran 14 meter persegi.

Kebayang bagi-bagi tempatnya kayak gimana?

Tidak cuma itu, penampilan seluruh anggota keluarga itu pun seperti tidak terurus, baju rombeng, badan kurus, kotor seperti jarang mandi, pokoknya prihatin kita kalau liat mereka. Dan, kondisi dalam rumahnya pun sudah seperti mau rubuh, air bisa masuk kalau lagi hujan, sampah di mana-mana, dan tidak ada satupun barang di rumah itu yang berharga.

Tapi, setelah guru dan murid berjalan ke halaman belakang rumah itu, mereka menemukan pemandangan yang janggal. Ternyata keluarga itu memiliki seekor sapi. Yap, lumayan aneh untuk ukuran keluarga semiskin itu punya sapi.

Selidiki punya selidik, sapi itulah yang menghidupi keluarga itu sehari-sehari. Air susunya lah yang selama ini menyelamatkan mereka dari kelaparan, walaupun tetap dirasa kurang. Sapi itu menjaga mereka dari kemiskinan yang parah, karena ternyata, di tempat di mana semua serba kekurangan, memiliki sapi adalah sebuah kehormatan di desa itu. Sehingga, keluarga itu bisa sedikit terhibur meskipun hidupnya sangat menderita dan sebetulnya jauh dari kehormatan itu sendiri.

Malam berlalu, dan sebelum fajar datang, dengan hati-hati sekali sang Guru membangunkan si Murid agar tidak mengganggu tidur yang lainnya. Diam-diam mereka keluar rumah tanpa sepengetahuan keluarga tadi, dan menuju halaman belakang. Apa yang kemudian dilakukan sang Guru?

Dengan pisau besar dan tajam, ia memenggal kepala sapi itu dalam sekali tebas! Sapi itu langsung roboh tanpa suara!

Sudah pasti, muridnya langsung syok dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Speechless, tidak punya daya untuk bertanya pada sang Guru, apa alasannya sapi itu harus dibunuh. Yang ia tahu adalah, sapi itu satu-satunya harta berharga yang keluarga itu miliki, bagaimana cara mereka hidup setelah ini?

Sang Guru tetap kalem, dia mengajak muridnya pulang, meninggalkan rumah dan desa itu segera. Si Murid benar-benar tergoncang dan teraduk-aduk emosinya membayangkan betapa putus asanya keluarga itu setelah mengetahui sapi mereka satu-satunya mati. Perjalanan pulang itu menjadi perjalanan pulang ter-horor bagi Si Murid. Di dalam ketakutan dan kegelisahan, ia terus menerka-nerka, apa maksud semua itu. Ia masih tidak berani bertanya langsung pada gurunya.

Setahun berlalu.

Sang Guru mengajak muridnya kembali ke desa itu untuk mengunjungi lagi rumah yang setahun lalu mereka inapi. Muridnya yang sudah hampir lupa dengan kejadian setahun lalu itu, tiba-tiba kembali gelisah. Semakin dekat perjalanannya ke desa itu, semakin tidak karuan perasaannya. Apa yang akan ia lihat nanti setelah sampai di rumah itu? Masihkah ada penghuninya?

Sampai di sana, betapa terkejutnya murid tersebut setelah melihat rumah yang dulu ia inapi sudah tidak ada!

Bahkan sudah diganti dengan rumah lain yang lebih besar dan lebih bagus. Apakah keluarga itu tergusur? Lalu, di mana mereka sekarang? Sang Guru pun mencari tahu dengan mencoba bertanya pada pemiliki rumah yang baru itu. Ia ketuk pintunya, dan keluarlah seseorang yang ...  tidak asing bagi mereka berdua.

Ternyata dia adalah pemilik rumah yang dulu! Keluarga itu telah berhasil merenovasi rumah mereka menjadi lebih luas, lebih bagus, dan lebih layak huni. Tampilan mereka pun sudah tidak bikin prihatin lagi. Tubuh mereka terlihat sehat dan segar, penampilannya pun jauh lebih baik. Jauh berbeda dengan kondisinya setahun yang lalu. Apa yang sebenarnya terjadi?

Inilah pengakuan salah seorang dari mereka:

Setahun yang lalu, setelah kalian berdua meninggalkan rumah ini, kami mendapat musibah, sapi kami satu-satunya mati terpenggal (keluarga itu tidak tahu bahwa pembunuhnya adalah Sang Guru). Jujur, pada saat itu kami betul-betul terpukul dan hampir putus asa, semakin hari hidup kami semakin menderita. Tetapi kami lama-lama sadar, bahwa hidup belum berakhir dan kami harus melakukan sesuatu agar kondisi bisa membaik.
Orang itu melanjutkan,

Maka, kami mulai membersihkan halaman belakang dan menanaminya dengan sayur-sayuran. Pada awalnya, dari situlah kami bertahan hidup. Tetapi lama-kelamaan, kami menyadari bahwa sayuran yang kami hasilkan lebih dari cukup, dan kami bisa menjualnya ke tetangga-tetangga. Lalu, uang yang kami dapat bisa dipakai untuk membeli benih lebih banyak dan menghasilkan panen yang lebih banyak lagi. Sejak saat itu, perekonomian kami mulai membaik, kami bisa membeli pakaian yang lebih pantas, dan belanja cukup makanan, hingga akhirnya mampu merenovasi rumah ini.

Jeng jeng jeng. Si Murid lega dan terkagum-kagum dengan realita yang ia dengar barusan. Ia sekarang mengerti apa yang gurunya ingin ajarkan kepadanya.

Matinya sapi bukanlah akhir dari segalanya, tetapi justru menjadi awal dari kehidupan baru mereka yang lebih baik. Mungkin mereka akan tetap miskin jika sapi itu masih hidup hingga sekarang. Sapi itu telah menjadi borgol yang mengekang mereka dalam kemiskinan dan hidup yang tanggung. Sapi yang disebut lambang kehormatan itu sudah memberi perasaan bahwa mereka tidak miskin-miskin amat, walau kenyataannya tetaplah menderita. Sapi itu telah membutakan mereka dari harapan mendapatkan kehidupan yang lebih berharga di masa depan.

Maka dari itulah, ia harus dibunuh.

Berapa banyak dari kita yang menganggap apa yang dimiliki sekarang sudah cukup dan membuat berhenti untuk mengejar pencapaian yang lebih baik lagi? Berapa banyak dari kita yang kesannya 'nerimo' walaupun sebenarnya merasa tidak puas? Berapa banyak dari kita yang sebetulnya sudah sangat frustasi tetapi tidak cukup tergerak untuk melakukan sesuatu?

Setiap orang mempunyai sapinya masing-masing dalam hidup ini. Dan tanpa sadar, mereka telah hidup bersama sapi-sapi itu di dalam pekerjaan, karir, dan urusan-urusan lainnya, selama bertahun-tahun. Banyak yang tidak puas dengan kondisi sekarang, tetapi memilih untuk tetap pasrah dalam kehidupan yang seadanya. Toh, masih bisa hidup normal.

Cerita seekor sapi tadi adalah cerita tentang menghapus kebiasaan buruk, alasan, dan keyakinan membatasi yang membuat orang terikat pada kehidupan seadanya. Musuh kesuksesan yang sebenarnya bukanlah kegagalan, seperti yang banyak orang pikir, melainkan kehidupan yang seadanya - pemikiran bahwa kita bisa 'sekedar lewat' dalam hidup ini.

Bagaimana dengan Anda?

Apapun yang sudah terjadi di belakang, biarkanlah berlalu. Mari kita mulai hidup yang baru, hidup yang bebas dari sapi!

Semoga bermanfaat :)


NB: ini baru bagian depan buku ya, di dalamnya dibahas lengkap bagaimana kita mengenali sapi-sapi yang selama ini tidak kita sadari, dari mana sapi sapi-sapi itu datang, sampai bagaimana membunuhnya untuk hidup di zona bebas sapi.